To Contend for the Traditional Faith in Postmodern Era
Orasi Ilmiah Wisuda ke-2 STT Injili Philadelphia
By Dr. Eddy Peter P., Ph.D.
“Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.”
(Hakim-Hakim 21:25)
Tidak ada otoritas, tidak ada standard kebenaran untuk membedakan apa yang salah dan benar. Setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri. Inilah kondisi Israel menjelang akhir zaman hakim-hakim. Dan sebenarnya kondisi seperti inilah apa yang kita lihat, saksikan dan hadapi di era postmodern ini.
Postmodernisme merupakan suatu pemberontakan pada janji modernisme yang menjanjikan keadilan dan kemakmuran manusia yang dinilai gagal memenuhi janjinya oleh karena dunia semakin menuju kepada kegelisahan, ketakutan dan kehancuran. Namun apakah benar postmodern merupakan refleksi baru dalam filsafat hari ini. Dr. R.L.Hymers, Jr dalam khotbahnya yang bertemakan Salvation From Post-Modern di Calvary Road Baptist Church pada tanggal 27 Agustus 2004 menegaskan, “Tidak ada sesuatu yang baru dalam filsafat. Semua sistem filsafat pada dasarnya merupakan pengulangan kembali dari apa yang telah ada di masa lalu… Jika kita melihat kembali sejarah lebih jauh, kita akan melihat bahwa pikiran post-modern pada kenyataannya bukanlah “modern”. Manusia abad ini berkata, “Tetaplah hidup di masa lalu dan kamu akan kehilangan satu matamu”, namun Alexander Solzhenitsyn, seorang penulis dan filsuf Kristen memberikan jawab, “Lupakan masa lalu dan kamu akan kehilangan kedua matamu.” Bahkan Confusius juga berkata, “Ceritakanlah masa silam kepadaku, dan aku pun akan menceritakan masa depan.”
Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) dikenal sebagai nabi dari postmedernisme. Dia adalah suara pionir yang menentang rasionalitas, moralitas tradisional, objectivitas, dan pemikiran-pemikiran Kristen pada umumnya. Nietzsche berkata, “Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.” Pandangan Nietzsche ini diperjelas oleh C.S. Lewis ketika ia berkata, “My good is my good, and your good is your good” (kebaikanku adalah kebaikanku, dan kebaikanmu adalah kebaikanmu), atau kalau orang Jakarta bilang, “gue ya gue, lo ya lo”. Jadi di sini tidak ada standar absolut tentang benar atau salah dalam post-modern. Mungkin Anda juga pernah mendengar orang berkata “Mungkin itu benar bagimu, tetapi tidak bagiku” atau “Itu adalah apa yang kamu rasa benar.” Kebenaran, bagi generasi postmodern adalah relatif, tidak absolut. Dan ini bukanlah karakteristik ‘modern’ semata-mata, karena kondisi demikian juga telah mengkarakteristik Israel pada zaman Hakim-hakim, yaitu lebih dari 1000 tahun sebelum Masehi, ketika Israel telah meninggalkan Tuhan, Sang Pencipta, Penyelamat dan Pemeliharanya.
Sehingga dengan lahirnya era postmodern saat ini merupakan sinyal yang harus ditangkap oleh orang Kristen, terlebih para sarjana dan teolog Kristen, bahwa kecenderungan zaman kita saat ini telah mundur atau kembali ke zaman Hakim-Hakim, ketika bangsa Israel menolak Tuhan dan hidup serta berbuat menurut kebenaran masing-masing. Dr. Raymond Saxe, seorang gembala Fellowship Bible Church, Michigan – USA menjelaskan bahwa postmodernisme adalah: 1) keinginan manusia untuk bebas dari otoritas mutlak dan final; 2) keinginan manusia untuk bebas dari tanggung jawab; dan 3) keinginan untuk bebas dari tanggung jawab masa depan (accountability in the future).
Bagaimana agar kita tetap bertahan pada iman kita? Oleh sebab itu, malam ini saya mengajak Anda sekalin untuk “berjuang membela iman tradisional (murni) di era postmodernisme (To Contend for the Traditional Faith in Postmodern Era). Apa yang kita maksudkan dengan iman tradisional yang harus kita perjuangkan di sini? Yang saya maksudkan dengan the traditional faith di sini adalah sbb:
(1) The total, inerrant inspiration of Scripture by the Holy Spirit
(2) The virgin birth of Jesus Christ
(3) The absolute deity of Jesus Christ
(4) The salvation of the soul by the blood atonement of Jesus Christ
(5) The second coming of Jesus Christ
Pada malam ini kita akan membahas beberapa topik yang berhubungan dengan the traditional faith di atas, yaitu:
I.
Mempertahankan Iman bahwa Alkitab adalah Kebenaran Mutlak
Alkitab adalah kebenaran mutlak dan otoritas final terkandung dalam doa Yesus untuk murid-muridNya, “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran-Mu; Firman-Mu adalah kebenaran.” (Yohanes 17:17).
Bagi pikiran postmodern atau mari kita terjemahkan kembali kata-kata Friedrich Nietzsche “Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.” Nietzsche bermaksud mengatakan bahwa setiap orang berhak berkata apa yang dipercayai dan dikatakannya sebagai kebenaran, dan orang lain juga berhak untuk mengatakan apa yang dipercayai dan dikatakannya adalah kebenaran, walaupun apa yang mereka katakan itu saling bertentangan tetapi masing-masing berhak mengklaim dirinya benar. Oleh sebab itu, kesimpulan akhir Nietzsche adalah tidak ada kebenaran. Inilah karakteristik esensial dari postmodernisme. Pikiran postmodern mengumandangkan dengan keras bahwa tidak ada kebenaran mutlak dalam alam semesta ini. Tidak ada kemutlakan, tidak ada kebenaran absolut.
Sir Herbert Spencer adalah seorang profossor yang dalam sebuah konferensi ilmiah di London pernah berdiri dan melontarkan pemikirannya dengan berkata, “Saya percaya bahwa tidak ada sesuatu yang absolut atau mutlak di dunia ini.” Mendengar pernyataan itu hati seorang pemuda Kristen yang juga hadir dalam koferensi itu terusik dan kemudan bertanya, “Tuan, benarkah tadi Anda mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang mutlak di dunia ini?” Spencer menjawab, “Ya, saya telah mengatakan itu.” Lalu pemuda itu bertanya, “Oh, jadi Anda tidak percaya bahwa ada sesuatu yang mutlak di dunia ini?” Spencer menjawab, “Ya, saya percaya itu.” Dengan berani pemuda itu berkata dengan lantang, “Tuan, apakah Anda percaya teori Anda itu mutlak?” Herbert Spencer terdiam dan tidak dapat menjawabnya. Karena jika Spencer benar, bahwa tidak ada sesuatu yang mutlak di dunia ini, maka teorinya ini juga tidak mutlak, jadi kalau teori ini tidak mutlak, maka tidak dapat dipertahankan dan kalau demikian memang ada sesuatu yang mutlak di dunia ini dan kebenaran yang mutlak adalah Alkitab, seperti yang Yesus Kristus Tuhan kita katakana “Firman-Mu adalah kebenaran.”
Ketika Gereja Katholik Roma abad pertengahan berada dalam masa kegelapan (the dark ages) dan iman bahwa Alkitab sebagai otoritas final ditinggalkan dan digantikan dengan berbagai tradisi dan keputusan-keputusan Paus, banyak pejuang-pejuang iman yang ingin tetap mempertahankan Alkitab sebagai otoritas kebenaran mutlak dan final harus berhadapan dengan pemerintah dan bahkan rela mati untuk kebenaran itu. “The Three Morning Star Reformation”, yaitu John Huss, John Wycliffe dan Savonarola adalah para pejuang di awal fajar reformasi Protestan.
Oleh karena imannya yang kuat terhadap Alkitab sebagai otoritas tertinggi, mutlak dan final bagi doktrin dan praktek kehidupan orang Kristen, Wycliffe ingin Alkitab bukan hanya dibaca dalam bahasa Latin (Vulgate), namun ia rindu setiap orang yang berbahasa Inggris dapat membaca dalam bahasa mereka sendiri dan hal ini mendorongnya untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris (Wycliffe’s Translation) walaupun ia harus berhadapan dengan hukuman GRK. Begitu juga William Tyndale (1494-1536) yang mengikuti jejak perjuangan Wycliffe, walaupun akhirnya ia harus menghadapi hukuman dengan diikat di sebuah tiang dan kemudian dibakar hidup-hidup. John Huss oleh karena pendirian imannya pada Alkitab berani menerima hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup seperti Tyndale dan begitu juga Savonarola. Sola Scriptura merupakan semangat reformasi Protestan untuk kembali menjadikan Alkitab sebagai otoritas mutlak dan final bagi iman dan praktek iman Kristen.
Telah banyak pejuang iman Kristen gugur karena membela Alkitab. Mereka konsisten dalam perjuangannya oleh karena mereka tahu dan yakin bahwa apa yang mereka percaya adalah kebenaran mutlak. Socrates pun dalam sidang pengadilan terhadap dirinya sendiri, dengan santai bersedia meminum racun oleh karena membela bahwa apa yang ia percaya adalah kebenaran, walaupun puncak filsafat Socrates adalah “hanya satu yang ku tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa.” Saya tidak bermaksud mengatakan apa yang dibela Socrates adalah kebenaran, namun saya mau tegaskan jika Socrates berani membela “apa yang dianggapnya kebenaran”, mengapa kita tidak berani membela bukan sekedar apa yang “kita anggap sebagai kebenaran”, tetapi itu adalah kebenaran mutlak, yaitu Alkitab.
Kondisi kosmopolitan, pluralitas masyarakat maupun kepercayaan menjadi lingkungan yang subur bagi tumbuhnya postmodernisme. Orang tidak lagi berani berkata bahwa apa yang dipercaya dan dilakukannya sebagai kebenaran mutlak dan yang lain bukan kebenaran. Oleh sebab itu, banyak gereja mulai bersikap lunak dan menyerahkan dirinya dalam pelacuran pikiran postmodern. Mereka tidak lagi berani mengatakan bahwa Alkitab sebagai kebenaran mutlak seperti yang ditegaskan oleh Yesus sendiri. Dengan berbagai alasan “sok rohani” mereka berusaha untuk hidup tenang di tengah zaman postmodern. Bahkan mereka sering berkata, “Kita harus menyesuaikan diri dengan zaman ini.” Bukankah saya tegaskan di atas bahwa sejak zaman dulu kekristenan hidup di tengah pluralitas dan bukan hanya di zaman postmodern ini. Bahkan apa yang disebut dengan postmodern merupakan bentuk baru dari kondisi zaman Hakim-Hakim.
Toleransi tidak berarti “saya setuju bahwa apa yang Anda percaya benar, begitu juga dengan apa yang saya percaya.” Toleransi adalah “saya percaya apa yang saya percaya adalah kebenaran dan saya menghormati pendirian Anda.”
II. Mempertahankan Iman bahwa Kristus adalah Satu-Satunya Jalan dan Kebenaran
Ketika Yesus Kristus bersaksi dalam persidangan DiriNya, Ia berkata “Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku.” Mendengar kesaksian Yesus Kristus ini Pilatus langsung bertanya, “Apakah kebenaran itu?” (Yohanes 18:37-38). Pilatus berdiri di depan Kebenaran, namun ia tidak mengenal kebenaran. Bahkan ia seakan telah memiliki kebenaran sehingga menjadi hakim bagi kebenaran. Kebenaran adalah Yesus sendiri. Suatu kali Yesus menjawab pertanyaan Tomas dan berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang dating kepada Bapa (Sorga), kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)
Di era post-modern yang diwarnai dengan pluralitas masyarakat dan agama atau kepercayaan ini kita sering mendengar pernyataan bahwa tidaklah berhikmat jika seseorang mengatakan bahwa apa yang dipercayanya adalah kebenaran mutlak dan kepercayaan lain bukanlah kebenaran. Oleh sebab itu, bahkan para teolog Kristen pun akhirnya mulai membuka diri untuk berbagai dialog agama yang intinya untuk menemukan persamaan dengan mengabaikan perbedaan untuk menyatukan persepsi. Teolog-teolog seperti George Lindbeck, Ronald Thieman, Harvey Cook, Thomas Altizer dan Mark C. Taylor adalah para teolog postmodern yang mengumandangkan pemikiran-pemikiran pluralisme. Di Asia kita mengenal teolog Pluralis Asia seperti Raimundo Panikkar, Stanley Samartha, dan Choan Seng Song yang juga menyebarkan pikiran-pikiran postmodernisme.
Mereka berpikir bahwa di zaman post-medern atau dalam masyarakat pluralis ini kita tidak lagi boleh untuk mengklaim bahwa Kristen adalah satu-satunya Jalan Keselamatan. Memang benar Kristen bukan jalan keselamatan, tetapi Kristuslah jalan keselamatan dan Kristus yang adalah satu-satunya jalan keselamatan ini hanya dapat ditemukan dan dikenal dalam Alkitab orang Kristen.
Sekali lagi saya tegaskan bahwa toleransi tidak berarti “saya setuju bahwa apa yang Anda percaya benar, begitu juga dengan apa yang saya percaya.” Toleransi adalah “saya percaya apa yang saya percaya adalah kebenaran dan saya menghormati pendirian Anda.” Jika Kristus yang saya percaya mengatakan bahwa Dia adalah Jalan dan Kebenaran, maka atas nama toleransi harus menghormati pendirian saya, karena pendirian saya lahir dari apa yang dikatakan oleh Tuhan saya.
Sebenarnya sejak kapankah kekristenan berada dalam masyarakat yang bersifat plural? Bukankah sejak lahirnya kekristenan sudah berada di tengah-tengah masyarakat plural? Ketika Yesus datang ke dunia, Ia dilahirkan di tengah masyarakat plural dengan berbagai macam kepercayaan, namun Ia selalu mengkhotbahkan ‘keunikan’ atau ‘superiority’ dari ajaranNya. Ketika Paulus menjadi pemberita Injil bagi bangsa Yunani, ia juga menghadapi pluralisme masyarakat dan agama, dan ia tetap memberitakan ‘keunikan” Injil bahwa Kristus adalah satu-satunya jalan dan kebenaran (mutlak). Polycarpus ketika terikat di atas kayu perapian di suruh menyangkal Yesus, namun ia berkata, “Selama 86 tahun aku mengikut Yesus, dan Ia tidak pernah mengecewakan aku. Mana mungkin sekarang aku harus menyangkal dia.” Akhirnya Polycarpus menerima hukuman dengan dibakar hidup-hidup. John Bunyan, penulis novel Kristen terkenal, Pilgrim Progress atau ‘Perjalanan Seorang Musafir’ hidup di tengah pluralistas dan ia tetap mengkhotbahkan bahwa setiap orang harus bertobat kepada Injil dan menerima Kristus sebagi Tuhan dan Juruselamat, walaupun akhirnya ia menghabiskan sepanjang hidupnya di penjara. Martin Luther mengumandangkan pemberontakannya terhadap Gereja Roma Katolik dengan memakukan 95 dalilnya di pintu gereja Wettenberg pada 31 Oktober 1517, setelah ia menemukan kebenaran dalam Injil (Roma 1:16-17), bahwa keselamatan hanya oleh anugerah (sola gratia) dan hanya oleh iman (sola fide) di dalam Kristus.
Postmodern bukanlah lebih ‘modern’ dalam realitanya, namun pengulangan kembali kondisi zaman-zaman sebelumnya. “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.”(Hakim-Hakim 21:25) Sebagai sarjana dan teolog Kristen kita harus sadar bahwa kekristenan hari ini sudah masuk kembali ke zaman ketidakpastian iman seperti pada zaman Hakim-hakim. Masing-masing melakukan apa yang menurut mereka ‘benar’. Dalam research yang dilakukan oleh Dr. Jim Barna, ia memberikan klaim-klaim para pemimpin Kristen di antaranya, Billy Graham memprediksi bahwa dari jumlah orang Kristen yang mengklaim dirinya sudah diselamatkan hanya 15 % yang benar-benar sudah bertobat dan A.W. Tozer memperkirakan hanya 10 % saja. Fakta ini menunjukkan bahwa iman Kristen mulai memudar. Dan kelihatannya kondisi kekristenan di era postmodern inilah yang mendorong Dr. Douglas Groothuis seorang rekanan professor filsafat di Denver Univesity mengumandangkan pemikirannya dalam karyanya Pudarnya Kebenaran [terjemahan Momentum]. Dr. Groothius berkata, “Di dalam konteks kita yang pluralistis dan postmodern, kita perlu merumuskan klaim-klaim kebenaran Kristen dalam perbandingan dengan pandangan-pandangan yang berlawanan – bukan untuk berselisih meainkan untuk menjelaskan apa yang tengah dikemukakan dan apa yang tidak. Logika antitesisnya sepertpi berikut:
Pertama, Jika kita percaya bahwa Yesus adalah Allah yang berinkarnasi, maka Ia bukan sekedar (1) nabi dari Allah (Islam), (2) reformator yang salah arah (Yudaisme), (3) satu avatar dari Brahman (Hinduise), (4) satu manifestasi dari Allah (Iman Baha’I), (5) guru yang sadar akan Allah (Zaman Baru), (6) nabi social yang terinspirasi tetapi bukan ilahi (teologi liberal/pembebasan), dan seterusnya.
Kedua, Jika kita percaya bahwa Allah adalah Keberadaan yang berpribadi yang bereksistensi secara kekal sebagai tiga pribadi (Bapa, Anak, dan Roh Kudus), maka realitas ilahi bukan (1) esa dalam pengertian Unitarian (Islam, Yudaisme, atau Unitarianisme), (2) kesadaran yang impersonal-imoral (beberapa aliran pemikiran Hinduisme, Budhisme, dan Zaman Baru), (3) non-eksisten (Budhisme Theraveda, Jainisme, dan bentuk-bentuk sekuler ateisme), (4) banyak allah (Mormonisme, Shinto, dan bentuk-bentuk Politheisme dan animisme lainnya) dan seterusnya.
Beranikah Anda tetap tinggal dalam perjuangan dalam membela klaim Yesus yang adalah Kebenaran mutlak atau Kebenaran sejati seperti para pendahulu kita?Yesus berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup”. Dia mengklaim diriNya sendiri adalah kebenaran, jalan satu-satunya kepada Bapa (Sorga) dan sumber kehidupan kekal. Ini adalah traditional faith yang harus diperjuangkan