JIKA TUHAN MENGETAHUI KEMAMPUANKU
MENGAPA AKU HARUS DIUJI?
Pdt. Dr. Eddy Peter P., Ph.D.
Khotbah ini dikhotbahkan di Gereja Kristen Rahmani Indonesia, Pademangan – Jakarta
Minggu 12 Juni 2005
&
Dikhotbahkan di Philadelphia Baptist Chistian Fellowship – Tangerang
Minggu 19 Juni 2005
Pencobaan-pencobaan
yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan
manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai
melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan
keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13)
Ayat ini merupakan penghiburan bagi setiap orang percaya untuk menghadapai ujian dan pencobaan dalam hidupnya. Ayat ini juga menjadi ayat pamungkas para hamba Tuhan dan konselor untuk menjawab pertanyaan jemaat atau konseli tentang mengapa mereka mengalami ujian yang berat dalam hidupnya. Mungkin dengan memberikan ayat ini kepada mereka kita para hamba Tuhan dan konselor merasa sudah melakukan yang terbaik dengan memberikan jawaban yang tepat dan paling sempurna. Saya katakan bahwa itu benar sekali! Namun pernahkah kita berpikir bukan saja bahwa pencobaan atau ujian ada jalan keluarnya, namun bahwa setiap pencobaan atau ujian mendatangkan penderitaan bagi pribadi yang dicobai atau diuji?
Benar Tuhan tidak pernah mencobai manusia. “Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: “Pencobaan ini datang dari Allah!” Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun.” (Yakobus 1:13). Setiap pencobaan datang dari si jahat, yaitu Iblis. Namun demikian bukankah Allah juga seringkali menguji umatNya dan bahkan menggunakan pencobaan Iblis sebagai alat ujian. Alkitab mencatat tentang kisah Ayub;
Ada seorang laki-laki di tanah US bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. (Ayub 1:1)
Lalu bertanyalah Tuhan kepada Iblis: Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Alah dan menjauhi kejahatan.” (Ayub 1:8)
Maka firman Tuhan kepada Iblis: “Nah, segala yang dipunyai ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya.” Kemudian pergilah Iblis dari hadapan Tuhan.” (Ayub 1:12)
Ketika ketiga sahabat Ayub mendengar kabar tentang segala malapetaka yang menimpa dia, maka datanglah mereka dari tempatnya masing-masing…. Mereka bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia. Ketika mereka memandang dari jauh, mereka tidak mengenalnya lagi…” (Ayub 2:11-12)
Jika kita memperhatikan ayat-ayat di atas atau bahkan untuk lebih jelas lagi membaca Kitab Ayub, kita akan merasakan betapa Ayub menderita karena ujian dan pencobaan yang menimpanya. Ketika kita membaca kitab Ayub atau ketika kita membaca catatan Alkitab tentang bagaimana Abraham diuji untuk mempersembahkan anaknya Ishak, mungkin kita kurang dapat berempati betapa berat penderitaan Ayub ataupun Abraham akibat dari pencobaan dan ujian itu karena kita sudah tahu ending yang menggembirakan. Tetapi coba Anda bayangkan, kalau Anda menjadi Ayub atau Abraham pada saat dicobai atau diuji dan belum tahu ending-nya akan seperti apa. Anda akan merasakan betapa berat penderitaan Ayub dan Abraham pada waktu itu.
Jadi sekarang yang perlu kita renungkan bukan hanya mampukah saya menghadapi pencobaan atau ujian, karena jawabannya sudah pasti yaitu, “Ya, mampu”, karena pencobaan yang kita hadapi tidak melebihi kekuatan kita dan Tuhan berjanji akan memberikan jalan keluar. Tetapi pernahkah Anda merenungkan banyak orang bertanya, “Jika Tuhan mengetahui kekuatan saya, mengapa Ia menguji saya? Saya menderita dan bahkan Ayub dan Abraham juga menderita ketika ujian itu datang menimpa. Jika Tuhan itu baik, mengapa Ia menyebabkan penderitaan saya?” Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul.
Benjamin Blech menulis,
Beberapa filsuf dan ahli teologi Yahudi, di antaranya yang paling tersohor adalah Maimonides (Rabi Moses Ben Maimon, 1135-1204) dam Machmanides (Rabi Moses Ben Nachman, 1194-1270), telah merenungkan kisah ini [ujian Abraham] secara mendalam. Mereka adalah dua pakar tafsir Alkitab dari abad pertengahan, dan masing-masing mendekati masalah ini dari sudut yang berbeda.
Cara
Maimonides dan Nachmanides menjelaskan ujian Abraham, sebuah ujian yang disertai
dengan kepedihan yang tidak terukur lagi, memberikan dua konsep lagi yag dapat
kita gunakan untuk memahami saat penderitaan kita sendiri. Saya menamakan konsep
ini “prinsip aktualisasi” (sebagaimana dijelaskan oleh Nachmanides) dan
“prinsip pendidikan” (sebagaimana dijelaskan oleh Maimonides) [Benjamin
Blech, If God is Good Why is the World So Bad? (Edisi terjemahan
diterbitkan oleh PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2004, hal. 187)
Pernyataan dua orang filsuf dan teolog Yahudi di atas cukup memberi inspirasi kepada kita untuk menjawab pertanyaan mengapa Tuhan yang baik mengijinkan penderitaan menimpa umatNya yang disebabkan oleh ujian dn pencobaan yang atas seijin Dia menimpa. Dan juga menjawab pertanyaan kita saat ini, “Jika Tuhan Mengetahui Kemampuanku, Mengapa Aku Harus Diuji?
Kita
tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu
untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka
yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. (Roma 8:28)
Paulus menegaskan bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu -- ini berarti juga termasuk dalam penderitaan yang disebabkan oleh ujian dan pencobaan yang menimpa – untuk mendatangkan kebaikan bagi umatNya yang mengasihi Dia.
Nachmanides mengatakan bahwa Manusia memiliki kehendak bebas. Ia bebas melakukan sesuatu atau tidak melakukannya. Namun Allah mengetahui apa yang akan diputuskan oleh orang itu, ketika ia menghadapi pilihan yang sulit. Namun Nachmanides tegaskan bahwa itu bukan berarti bahwa kita dapat menghindari proses keputusan. Pengetahuan Allah tidak menciptakan realitas, namun memberitahu sebelumnya. Allah tidak menilai kita dengan akan menjadi apa kita nantinya, tetapi memberikan kita peluang untuk mengaktualisasi ciri karakter kita serta menunjukkan komitmen puncak.
John K. Roth berkata,
Agustinus
menyatakan bahwa tidak ada ketidaksesuaian antara pra-pengetahuan Tuhan tentang
tindakan manusia dengan kepemilikan dan pengalaman manusia tentang
kebebasan…. Sebenarnya, kehidupan kita tidak dapat tidak kecuali Tuhan
mengetahuinya demikian, dan kehidupan kita telah ada di hadapan Tuhan sebelum
kehidupan itu terjadi pada diri kita. [ John K. Roth, Persoalan-Persoalan
Filsafat Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 62-63]
Dari pernyataan-pernyataan di atas kita menjadi jelas bahwa Tuhan mengetahui apa yang akan terjadi akhirnya dalam kehidupan umatNya yang mengalami ujian atau pencobaan. Dan karena Tuhan tidak pernah mencobai umatNya untuk melakukan yang jahat (Yakobus 1:13), maka pencobaan dan ujian yang diijinkan Tuhan menghampiri umatNya dalah pencobaan yang tidak akan menjatuhkan umat yang mengasihi Dia, tetapi justru justru untuk meninggikannya.
Benjamin Blech berkata,
Sungguh
menarik bahwa kata nes,dalam bahasa Ibrani yang berarti ujian [Kejadian
22:1], juga memiliki tiga arti lain: Nes berarti diangkat atau
ditinggikan; nes juga berarti sebuah bendera atau panji yang diangkat
tinggi-tinggi; dan nes juga berarti mukjizat. [Benjamin Blech, If
God is Good Why is the World So Bad? Hal. 189.]
Ketika orang Kristen sejati mengalami ujian atau pencobaan, janganlah kita bersungut-sungut kepada Tuhan. Menyalahkan Tuhan, “Jika Tuhan baik mengapa membiarkan aku menderita karena pencobaan ini.” Tetapi renungkanlah bahwa orang yang tidak pernah merasakan penderitaan, ia tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya bahagia. Hanya orang yang pernah mengalami penderitaan, ketika penderitaan itu berlalu, ia akan sangat bahagia. Jika Tuhan mengijinkan pencobaan dan ujian itu menghampiri Anda, Tuhan ingin meninggikan Anda. Ketika Anda didapatinya tahan uji, maka Allah akan meninggikan panji-panji kemenangan yang meninggikan Anda.
Mungkin Anda bisa berkata kepada Tuhan, “Tuhan Engkau tahu kekuatanku. Engkau tahu apapun yang terjadi aku akan tetap setia kepadaMu. Oleh sebab itu janganlah uji aku.” Benar, saya percaya Tuhan tahu, apakah Anda lulus atau gagal ketika Tuhan menguji Anda, namun Tuhan akan menjawab, “Aku memberikan ujian itu justru karena Aku tahu bahwa kamu akan lulus.”
Nachmanides menyimpulkan bahwa sebelum Abraham benar-benar mengalami ujian dan menjalaninya, maka kapasistas iman dan kesetiaannya hanyalah sekedar potensi belaka. Karakternya belum ditempa menjadi karakter yang sebenarnya.
Midrash memberikan analogi demikian;
Untuk
menguji hasil pembakaran sebuah bejana, seorang penjunan akan mengetuk pada
beberapa titik untuk melihat ia bebas dari retak atau kerusakan. Tetapi bila
bejana itu jelas-jelas pecah atau menunjukkan rusak
tertentu, maka bejana iu tidak perlu diuji. Jelas sudah bahwa bejana itu
rusak. [Benjamin Blech, If God is Good Why is the World So Bad? Hal.
192.]
Seorang penjual arloji anti air akan mendemonstarikan keunggulan arloji yang dijualnya dengan merendamnya ke dalam air di depan konsumen. Ia melakukan pengujian terhadap kekuatan arloji dengan memasukkannya ke dalam air hanya jika ia tahu persis dan yakin bahwa arlojinya tidak akan mati. Jika ia tidak tahu kekuatan arloji itu atas air atau masih ragu, maka ia tidak akan memasukkan ke dalam air. Dan ketika ia memasukkan arloji itu ke dalam air, karena ia tahu persis bahwa arloji itu tahan air, maka konsumen atau siapapun akan melihat bahwa arloji itu ternyata benar-benar anti air, arloji yang istimewa.
Begitu juga Tuhan tidak akan menguji Anda dengan ujian tertentu, jika Ia tahu bahwa Anda tidak akan tahan uji terhadap ujian tersebut. Jika Ia memberikan ujian kepada Anda dengan ujian tertentu, atau bahkan mengijinkan pencobaan menimpa Anda, karena Ia tahu bahwa Anda akan lulus dalam ujian. Apa tujuan Tuhan melakukan ini? Supaya Anda ditinggikan. Tuhan akan bangga kepada Anda, seperti Ia bangga kepada Ayub. Dan iblis tidak punya alasan bahwa Anda tahan uji karena dikendalikan Tuhan bak robot, tetapi Anda tahan uji karena memang Anda istimewa.
Seorang guru yang baik tentunya mengetahui mana di antara muridnya yang pintar dan bodoh. Lalu mengapa perlu diuji? Suapaya mereka tahu bahwa dirinya pintar atau bodoh, dan tahu bahwa temannya lebih pintar atau lebih bodoh darinya, sehingga mereka akan termotivasi untuk meningkatkan belajar mereka.
Saya tidak menganjurkan Anda minta Tuhan untuk menguji Anda, namun jika Tuhan menguji atau mengijinkan pencobaan menimpa Anda, maka Anda harus bersyukur, karena pertama Tuhan tahu kekuatan Anda, bahwa Anda akan mampu melewatinya, dan terlebih dari itu tujuan akhirnya adalah supaya Anda ditinggikan!
Abraham diberikan gelar yang agung, yaitu “Bapa dari semua orang yang beriman” setelah ia mengalami pengujian dan lulus ujian. Sebelum Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus ditinggikan dan dimuliakan, terlebih dahulu Ia harus mengalami berbagai macam pencobaan dan penderitaan. Jadi janganlah menyalahkan Allah ketika Anda mengalami pencobaan, karena Ia di dalam Kristus telah berempati kepada manusia dengan menerima seluruh penderitaan manusia, dan tidak ada orang di dunia ini yang pernah menerima pencobaan sama atau lebih besar dari yang pernah Ia alami. Semua itu Ia lakukan agar manusia diselamatkan dan itu jugalah yang memimpin kepada kemuliaanNya.
Pernahkah Anda berpikir bahwa pencobaan dan ujian yang Anda hadapi telah menjadi berkat bagi orang lain? Berapa banyak orang Kristen yang kuat dalam menghadapi pencobaan hidup dan kemiskinan oleh karena membaca kisah Ayub.
Saya lahir dari keluarga sederhana di pedesaan Blitar Selatan, Jawa Timur, sebelum akhirnya pindah ke Malang. Ayah saya dulunya seorang penjudi sampai menjelang akhir hidupnya. Dia telah menghabiskan semua yang keluarga kami miliki untuk berjudi, sebelum akhirnya dia sakit dan mengalami pertobatan dan kemudian meninggal. Ia tidak meninggalkan warisan untuk keluarga kami. Namun ia meninggalkan hutang yang sangat besar kepada kami dan cemoohan-cemoohan masyarakat sekitar kami. Saya sudah terbiasa menerima hinaan sebagai anak seorang raja judi yang tidak memiliki masa depan dan harus dikucilkan. Namun demikian saya bangga dengan ibu saya.
Saya masih ingat setiap ibu saya berdoa dalam segala kesempatan ia menangis dan selalu mengeluarkan pernyataan, “Tuhan, apa yang kami alami ini Tuhan memiliki rencana yang indah. Tolong kuatkan kami. Seperti Ayub yang mengalami pencobaan dan Tuhan akhirnya memberkatinya berlipat ganda, demikian juga kami percaya bahwa Tuhan juga akan menolong kami.”
Itulah doa yang selalu ia ucapkan, dan akhirnya melalui perjuangan saya yang tidaklah mulus, akhirnya kami dapat memperbaiki kondisi dan citra keluarga kami. Tuhan membuka jalan sehingga orang-orang yang pernah menghina kami – yang sejak semula sudah kami maapkan – begitu menghormati kami lebih dari sebelumnya. Semua karena pertolongan Tuhan dan doa ibu yang terinspirasi oleh kisah Ayub. Tanpa Ayub sadari, Ayub maupun Abraham telah menjadi berkat bagi banyak orang. Pengalamannya telah menjadi inspirasi yang menyembuhkan banyak orang yang terluka dan mengalami kesusahan.
Oleh sebab itu, ketika saudara melewati pencobaan dan ujian yang berat, tanpa saudara sadari bahwa saudara telah menjadi berkat bagi banyak orang oleh karena kesaksian saudara. Jadi saudara bukan hanya menjadi istimewa di hadapan Tuhan, tetapi anda juga istimewa di hadapan sesama.
Benjamin Blech berkata,
Maimonides
memandang tujuan pengujian itu sebagai pendidikan untuk umat manusia yang
lain.… Sama seperti penjunan yang sedang menguji bejana di tokonya agar dapat
membuat terkesan dan meyakinkan orang lain tentang kualitas barang dagangannya….
Allah menginginkan Abraham lulus dalam ujian yang luar biasa berat ini sehingga
kisah ini dapat menjadi bukti tentang kekuasaan iman… Jadi yang ingin
dikatakan oleh Maimonides adalah bahwa Allah memerlukan karakter yang sanggup
memberi inspirasi untuk kisah dalam kitabNya Yang Kudus. [Benjamin Blech, If
God is Good Why is the World So Bad? Hal. 196-197.]
Demikian juga akhirnya Abraham menjadi berkat bagi banyak bangsa oleh karena imannya yang tahan uji itu. Karena imannya yang besar Ayub menjadi inspirasi yang membangkitkan dan memberkati banyak orang yang ditimpa kemiskinan dan penderitaan.
Dalam perjalanan hidup dan pelayanan saya, saya banyak membaca tokoh-tokoh besar Kristen seperti William Carey, John Hus, Wycliffe, John Bunyan, Martin Luther, John Calvin dan masih banyak lagi yang lain yang memberikan inspirasi kepada saya untuk berjuang dalam iman dan pelayanan saya. Pengalaman mereka telah banyak menguatkan dan memberkati saya.
Kita dipanggil untuk menjadi berkat bagi dunia. Bersyukurlah jika pencobaan dan ujian menghampiri Anda oleh karena Anda mengasihi Dia, karena Anda akan menjadi berkat bagi banyak orang.
Saudaraku yang kekasih,
Sekarang haruskah Anda masih bertanya-tanya bahkan bersungut-sungut kepada Tuhan tatkala penderitaan datang mengampiri Anda? Pada hal Tuhan mengetahui bahwa kita mampu melewatinya, Tuhan akan memberikan jalan keluar, dan terlebih dari itu Ia akan membuat kita ditinggikan dan menjadi berkat bagi orang lain! Bukankah ini bukan lagi penderitaan tetapi suatu kebahagiaan yang tiada taranya. Jikalau Anda mengasihi Dia, Anda akan menikmati kebahagiaan yang tiada tara ini, namun jika Anda tidak mengasihi Dia, Anda akan merasakan ini sebagai penderitaan.
Kita
tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu
untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka
yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. (Roma 8:28)
Jadi sekarang, Anda ingin bahagia atau menderita, itu tergantung Anda sendiri. Jika saya menjadi Anda, saya ingin bahagia. Oleh sebab itu, saya akan mengasihi Dia dan memandang segala sesuatu yang saya alami dari perspektif rencana agung Tuhan bagi hidup dan pelayaan saya. Berhentilah menyalahkan Tuhan yang Mahakudus dan mengasihi kamu, hai orang-orang berdoa. Terimalah Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatmu dan kasihilah Dia seumur hidupmu, maka bahagia akan senantiasa mengiringi hidupmu.